Kisah Oei Tambah Sia, Playboy dari Batavia yang Berakhir di Tiang Gantung

Awal Kisah Legenda Si Manis Jembatan Ancol... <br>Kisah Oei Tambah Sia, Playboy dari Batavia yang Berakhir di Tiang Gantung

Pada zaman kolonial, ada sosok pria legendaris yang pernah berjalan-jalan di tanah Batavia. Dirinya dikenal sebagai seorang pemburu wanita, julukannya playboy dari Batavia.

Playboy yang menjadi urban legend dari Batavia ini muncul dalam catatan-catatan masa silam. Beberapa catatan ini menulis namanya seperti Oei Tambah Sia, Oey Tamba Sia, atau Oei Tambahsia.

“Namanya begitu legendaris di Betawi sebagai orang kaya raya. Namun, tingkah laku dan ulahnya tidak terpuji. Terkenal sebagai pemuda sombong, congkak, dan suka mengganggu anak-istri orang. Bahkan hampir tak ada kekuatan yang mampu mengekangnya,” demikian tertulis di Ensiklopedia Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta.

Dirinya hidup sekitar awal abad ke 19 di Batavia, pada era kolonial Hindia-Belanda. Dirinya merupakan putra seorang taipan asal Pekalongan serta raja tembakau yang kaya raya. Sejak usia 15 tahun dirinya telah mewarisi kekayaan mendiang ayahnya.

 

Ayahnya bernama Oey Thoa, merupakan seorang yang terhormat dan punya koneksi dengan pejabat. Selain itu, Oey Thoa dikenal sebagai hartawan yang dermawan.

Selain itu, Oey Thoa juga terpandang dengan jabatan sebagai Luitenand der Chinezen atau Letnan Etnis Tionghoa di Batavia. Gelar tersebut didapatnya karena kedekatannya dengan Mayor Tionghoa, Tan Eng Gan, yang dikenal sebagai Ketua Dewan orang-orang Tionghoa.

Menukil dari VOI, hanya beberapa tahun menjabat Oey Thoa meninggal. Atas segala jasanya, Oey Thoa mendapat gelar kehormatan dari otoritas setempat, yakni Oey Thay Lo yang berarti "Oey yang besar dan tua".

 

Warisan dari Oey Thoa dibagi ke tiga anaknya, termasuk Oei Tambah Sia. Namun satu-satunya yang terwariskan kepada Tambah hanyalah kekayaan, tetapi tidak kebaikannya.

 

Tambah saat itu mendapat warisan kekayaan ayahnya berupa lahan di Pasar Baru dan Curug Tangerang dengan sewa 95 ribu Gulden setahun, sejumlah rumah, uang, dan perhiasan. Total nilainya mencapai 2 juta Gulden.

"Sekadar gambaran, waktu itu dengan uang sepuluh gulden saja orang sudah bisa hidup cukup. Orang sekaya Oei Thay sangat jarang. Hanya beberapa gelintir," demikian tertulis dalam buku Indonesia Poenja Tjerita, disunting Roso Daras, diterbitkan Mizal Digital Publishing.

Karena itulah setiap hari, Tambah kerap menghamburkan uangnya di kawasan Ji Lak Keng, dekat rumahnya di Jalan Pa Tek Wan yang sekarang bernama Jalan Perniagaan Raya, Tambora, Jakarta Barat. Ketika malam tiba, dirinya kerapkali menggoda para penari dengan melemparkan uang kepada mereka.

Bahkan salah satu mitos yang paling dikenal akan kelaukannya adalah cara menghamburkan uang ayahnya saat membuah hajat. Entah bagaimana, Tambah memilih membersihkan kotoran dengan uang daripada air bersih.

 

"...Setiap dia buang hajat di kali, banyak orang-orang miskin di sekitar kali Krekot menanti di dekat jamban si Tambah. Rupanya mereka menanti uang kertas yang digunakan Tambah untuk membersihkan tinja di pantatnya setelah buang hajat. Uang itu diperebutkan orang-orang miskin yang malang itu," ucap Alwi Shahab dalam tulisannya berjudul Oey Tambahsia, Playboy Betawi, menukil Tirto.

Sepak terjang mencari para wanita

Sejak kecil, Oei Tambah Sia tidak pernah hidup kekurangan, bahkan dirinya memamfaatkan kekayaan ayahnya untuk foya-foya. Tambah digambarkan memiliki wajah yang rupawan, senantiasa berpakaian mewah, sering berkeliling dengan kuda, dan tentunya gemar mengejar perempuan.

"Oei Tambah Sia sebagai anak muda yang memiliki penampilannya keren, kulitnya bersih, topinya terbuat dari sutra hitam. Setiap sore naik kuda bersama tiga pengawalnya," ucap Windoro Adi dalam buku Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi.

Pada usia 17 tahun, reputasi Tambah sebagai playboy mulai menyebar ke wilayah Weltevreden (Pasar Baru, Lapangan Banteng, Pasar Senen). Dia gemar merayu gadis cantik.

Tambah disebut memiliki bungalo di Ancol bernama Bintang Mas. Tempat ini digunakan untuk pelampiasan hawa nafsunya, dirinya selalu berburu perawan, bahkan wanita yang memiliki suami.

Dirinya sendiri akhirnya menikahi gadis dari keluarga Sim. Diceritakan pernikahan itu digelar secara besar-besaran, konon menjadi yang paling mewah se-Batavia.

Meski pesta pernikahannya digelar sangat mewah. Hal ini tetap tidak menghentikannya untuk memburu wanita. Para orang tua yang memiliki gadis pun cemas bila kedatangan playboy tajir dan berkuasa ini.

 

Disebutkan, Tambah tidak segan-segan menyiksa pesaingnya saat ingin merebut seorang wanita. Bahkan dalam persaingan ini tidak sedikit yang berujung kematian.

"Dengan mempergunakan kekayaannya, dia memelihara hubungan baik dengan para pembesar Belanda yang ternyata juga banyak yang korup dan bersedia menjadi pelindungnya. Dia merasa dengan uangnya dia dapat memperoleh segala apapun yang dia inginkan, tanpa menghiraukan kerugian yang dia timbulkan kepada orang lain," demikian tulis Benny G Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik.

Salah satu kisah yang dikenang tentunya terkait dengan peristiwa pembunuhan gadis bernama Ariah pada 1817, di Jembatan Ancol. Dia meninggal dan jasadnya hilang, setelah menolak hendak diperkosa di sebuah vila di Ancol, pelakunya siapa lagi kalau bukan Oei Tambah Sia.

"Mereka memiliki soehian (semacam rumah pelacuran) tempat berpesiar dengan para harem. Bahkan, di salah satu vilanya itu, konon si mata keranjang Oey Tambahsia membunuh seorang gadis (Ariah) yang jadi korbannya," catat Alwi Shahab dalam artikel berjudul Legenda Si Manis Jembatan Ancol.

Dari sinilah mitos hantu Si Manis Jembatan Ancol muncul sebagai legenda masyarakat. Ketika malam hari sering keluar dan menggoda laki-laki, khususnya para sopir yang lewat jembatan.

Berujung di tiang gantung

Sebenarnya tidak semuanya diam melihat tingkah laku Oei Tambah Sia, para pemimpin masyarakat Tionghoa yang tergabung dalam Kongkoan (Dewan Tionghoa era Hindia-Belanda) sudah sangat geram. Namun, Mayor Tan Eng Goan yang merupakan Ketua Kongkoan ternyata memiliki relasi dengan keluarga Oei Tambah Sia.

Karena inilah terjadi konflik kepentingan, karena Tan Eng Goan sering dibantu oleh ayah Oei Tambah Sia pada masa lalu. Walau begitu anggota Kongkoan tetap mendesak agar menindak tegas prilaku Tambah.

"Tan Eng Goan akhirnya terdesak dan berjanji akan bertindak dan memberikan peringatan kepada Oei Tambah Sia agar menghentikan segala perbuatan dan tingkah-lakunya yang buruk tersebut," kata Benny

Sudah mendapat tekanan, polah Tambah tidak sedikit pun mereda. Dirinya kemudian memboyong Mas Ajeng Gunjing, seorang sinden dan penari asal Pekalongan yang terkenal di zaman itu. Perempuan ini kemudian ditempatkan di rumah gedongan.

Suatu hari penari yang terkenal cantik jelita ini dikunjungi oleh kakak kandungnya, bernama Sutejo. Melihat keduanya, entah bagaimana Oei Tambah Sia menjadi cemburu dengan kehadiran Sutejo di sisi Mas Ajeng Gunjing.

 

"Oey Tambah Sia menyuruh Piun dan Sura, tukang pukulnya untuk membunuhnya," tulis Benny.

Tidak sampai saat itu saja, suatu hari menantu Tan Eng Gan yakni Liem Soe Keng, pindah dari Pekalongan ke Betawi. Sontak Tan Eng Gan yang masih muda dianggap pesaing bagi Tambah.

Merasa tersaingi, dirinya kemudian meracuni Tjeng Kie, seorang pembantu Liem Soe Keng dengan motif menjebak. Hal ini bermaksud agar Liem Soe Keng menjadi tertuduh karena telah membunuh pembantunya sendiri.

Tetapi siasat itu tidak terbukti, pengadilan malah memutuskan sebaliknya, setelah Lim berhasil mengumpulkan bukti kejahatan Oei Tambah Sia. Liem juga membujuk agar Gunjing ikut bersaksi kepada polisi atas dua kasus pembunuhan agar memperberat Tambah.

Tambah kemudian diantar menuju tiang gantungan di halaman Balai Kota (Stadhuis) Batavia. Halaman yang menjadi saksi kematian playboy Betawi ini sekarang menjadi Museum Fatahillah, Kota Tua.

Saat fajar, warga Batavia telah berkumpul untuk menyaksikan hukuman mati atas nama Oei Tambah Sia. Playboy kawakan ini tewas di tiang gantungan pada usia 31 tahun.

"Akhirnya, Oei Tambah Sia si playboy berbahaya itu dihukum gantung di depan Balai Kota, Taman Fatahillah. Ratusan warga kota Betawi yang menyaksikannya. Hukuman mati itu terjadi di tahun 1851," ucap Benny.

 


Warga 62

3 Blog posting

Komentar